Beranda | Artikel
Rapot Merah Ideologi Demokrasi
Senin, 6 Februari 2023

Isu demokrasi telah mendunia. Ideologi produk Barat ini (baca: orang-orang kafir) lantas dipaksakan atas negara-negara lain, termasuk pada komunitas kaum muslimin. Opini yang dihembuskan, bahwa kesengsaraan dan penderitaan rakyat suatu negara berpangkal pada hilangnya ruh demokratis di tengah mereka. Ketika suasana demokratis telah menaungi sebuah negara, maka rakyat akan hidup dalam kemakmuran yang merata (?!).

Faktanya, justru, wajah demokrasi melahirkan masalah[1]masalah baru yang tidak bisa dianggap sepele oleh umat Islam. Berikut ini sedikit tentang pelanggaran-pelanggaran ideologi demokrasi secara ringkas, baik ditinjau dari hukum asalnya, atau mekanisme-mekanisme penyelenggaraan negara dalam negara berdemokrasi (dimanapun) ditinjau dari sudut pandang Islam.

PELANGGARAN TERHADAP AKIDAH ISLAM

Pelanggaran dalam aspek akidah ini, lantaran ideologi demokrasi memutuskan hukum berdasarkan suara mayoritas. Apapun hasilnya, pilihan suara mayoritas itu akan diputuskan sebagai peraturan yang mengikat. Suara terbanyak dikultuskan, dan penetapan hukum-hukum hanya berada di tangan sekelompok orang saja.

Demokrasi yang bertumpu pada ketaatan pada suara mayoritas telah mengakibatkan terjadinya syirkuth-thâ’ah (menyekutukan sesuatu denganAllah سبحانه وتعالى pada aspek ketaatan secara mutlak). Simaklah ayat berikut:

اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ ۗ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?

Hukum Allah itulah yang mestinya (wajib) diterapkan dalam seluruh bidang kehidupan sosial kemasyarakatan. Karena Allahl al-Khâliq (Dzat Yang Maha Menciptakan) dan Maha Tahu apa yang paling bermanfaat dan mengandung maslahat sebesar-besarnya bagi makhluk-Nya. Allahl berfirman, yang artinya: Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Qs. Yûsuf/12:40).

MEMICU SIFAT KEMUNAFIKAN

Calon-calon legislatif atau eksekutif berusaha menampilkan citra dirinya sebagai figur yang baik. Tak kurang, misalnya dalam soal nama, disematkanlah label Haji (H) dan Hajjah (Hj). Penyematan gelar-gelar seperti ini atau yang sejenisnya, seolah menjadi “wajib”. Ucapan-ucapan manis dan janji-janji menarik menghiasi bibir-bibirnya. Semuanya menjanjikan perbaikan keadaan dan meningkatkan kemakmuran rakyat.

Namun, begitu usai dan berhasil menggenggam jabatan, ternyata kepentingan pribadi, partai atau golongan berbalik menjadi tujuan utamanya. Janji-janji yang pernah diucapkan hanyalah isapan jempol. Itulah sebuah kedustaan. Padahal Allah سبحانه وتعالى berfirman, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (Qs. at-Taubah/ 9:119).

Juga disebutkan riwayat dari Abu Hurairah z , Rasulullah ﷺ bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda-tanda kemunafikan ada tiga. Jika berbicara, ia dusta. (2) Jika berjanji, ia mengingkari. (3) dan jika dipercaya, ia berkhianat. (HR al-Bukhâri, no. 32, dan Muslim, no. 89).

MENYUBURKAN BUDAYA SUAP

Politik uang tidak bisa lepas dari alam demokrasi. Misalnya dengan pembagian sembako, hadiah, atau bantuan lain. Ini dilakukan oleh calon-calon pencari kekuasaan untuk menarik simpati kalangan bawah. Apapun bentuknya, ketika materi berbicara, itulah esensi dari politik uang. Dalam terminologi fiqih sebagai risywah (suap) yang diharamkan Islam.

Rasulullah  ﷺ bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِي وَالمُرْتَشِيْ

Allah melaknat penyuap dan orang yang disuap. (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni, Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb, 2/261).

PUJIAN BAGI DIRI SENDIRI

Dalam alam demokrasi, sebagian calon eksekutif maupun legislatif senang memuji diri sendiri. Saat kampanye sering menyatakan sebagai pihak yang paling pantas mengemban amanah rakyat. Pujian-pujian dan sanjungan-sanjungan juga dipaksakan oleh tim suksesnya demi kemenangan calon-calonnya. Bisa disaksikan, baliho-baliho, spanduk-spanduk maupun iklan[1]iklan dijejali dengan ungkapan[1]ungkapan pujian, gambar-gambar bagaimana orang-orang yang mencalonkan diri (atau dicalonkan) berempati kepada rakyat kecil, rela berkotor-kotor keluar masuk pasar tradisional (yang sebelumnya tidak pernah dilakukan) guna mendulang simpati lebih besar. Bila mereka tidak berhak dipuji, berarti telah terjadi penipuan dan kedustaan. Jika sepertinya pantas memperoleh pujian, ini pun tidak perlu dilakukan.

Hal ini karena pada asalnya, memuji diri sendiri tidak boleh (haram). Seseorang dituntut agar rendah hati, tidak menonjolkan diri, atau membanggakan diri. Allah سبحانه وتعالى berfirman:

فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى ࣖ

Maka, janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (Qs. An-Najm/53:32).

SIAPAPUN BISA TERPILIH, MESKI ORANG PALING ZHALIM DAN TERBEJAT SEKALIPUN

Proses pencapaian kursi kekuasaan dalam ideologi demokrasi melalui mekanisme kepartaian. Masing-masing partai mendelegasikan orang pilihannya. Lantas, masyarakat menentukan pilihan pada siapa saja yang mereka kehendaki, tanpa memandang baik buruknya individu tersebut. Dalam penghitungan suara, para wakil yang memperoleh suara terbanyak akan memperoleh tempat. Demikian pula, pemegang kekuasaan (eksekutif) berdasarkan suara terbanyak, bagaimanapun buruk sifat dan karakter mereka.

DEMOKRASI MEMECAH PERSATUAN UMAT

Ideologi demokrasi melahirkan pembentukan partai-partai yang sangat berpotensi menimbulkan perpecahan dan fanatisme buta terhadap golongan. Secara tidak langsung juga menumbuhkan bahaya laten konflik antar simpatisan. Bahkan untuk membela golongannya rela mempertaruhkan nyawanya. Sedangkan Islam mengutamakan persatuan dan mencela perpecahan.

ADANYA UNSUR PERJUDIAN DALAM PESTA DEMOKRASI

Terjadinya persaingan dalam meraih kekuasaan, telah menginspirasikan berbagai cara ditempuh untuk memenangkan suara. Bagi yang kalah, ia akan mengalami banyak kerugian. Inilah hasil yang akan didapat pihak pecundang. Sebaliknya, pihak yang memenangkan, ia akan memperoleh keuntungan. Meskipun pada hakikatnya, semua pihak mengalami kerugian dalam pesta yang menelan anggaran sangat besar, baik negara maupun individu. Dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul-Muhsin –hafizhahullah-realita ini mirip dengan qimâr (perjudian).

DEMOKRASI MENGAJARKAN KEBEBASAN MUTLAK

Demokrasi terbangun di atas asas kebebasan mutlak, meskipun berupa kekufuran atau kebejatan dan degradasi moral. Setiap orang bebas melontarkan atau bertindak serta meyakini apa saja, tanpa memperhatikan norma agama maupun norma sosial, etika. Dalihnya, karena semua orang bebas menentukan pilihan pribadinya tanpa intervensi orang lain.

Demikian, sebagian pelanggaran demokrasi terhadap syariat Islam. Ketika sebuah sistem berlandaskan pada pemikiran yang rusak (kekufuran), maka tak dapat terelakkan, out putnya pun tidak jauh berbeda. Yakni membuahkan hasil yang sama-sama rusak dan berakibat buruk bagi orang banyak. Wallahul-Hadi ilâ Shirâthil-Mustaqîm.

Marâji‘:

  1. Al-Adlu fi Syarî’atil Islâm wa Laisa fid-Dimaqratiyyah al-Maz’umah, ‘Abdul-Muhsin al-Abbâd Darut-Tauhîd, Riyadh, Cetakan I, 1428 H.
  2. Hukmu ad-Dimaqrathiyyah fil-Islâm, Munkarât wa Mukhâlafât Syar’iyyah Tahshulu fil[1]Intikhâbât, Dr. Hamd bin Muhammad al-Hâjiri, Cetakan I, Tahun 1427 H – 2006 M, tanpa penerbit

Majalah As-Sunnah Edisi 04/Thn.XII/Rajab 1429H-Juli 2008M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/firaq/rapot-merah-ideologi-demokrasi/